Bentan.co.id – Direktorat Jenderal Bea dan Cukai kembali mengingatkan masyarakat untuk waspada terhadap penipuan yang mengatasnamakan institusi mereka, khususnya dengan modus toko online fiktif dan oknum yang berpura-pura sebagai petugas Bea Cukai.
Kepala Subdirektorat Humas dan Penyuluhan Bea Cukai, Budi Prasetiyo, menjelaskan bahwa penipuan ini biasanya bermula dari akun media sosial seperti Instagram dan Facebook, yang menawarkan barang dengan harga sangat murah.
Setelah calon korban melakukan transaksi, pelaku lain kemudian menghubungi korban dan mengaku sebagai petugas Bea Cukai.
Mereka menyampaikan bahwa barang yang dibeli adalah ilegal dan harus ditebus dengan membayar “biaya pajak” melalui transfer rekening pribadi.
“Bea Cukai tidak pernah meminta pembayaran secara langsung ke rekening pribadi. Seluruh pembayaran resmi dilakukan melalui kode billing yang masuk ke kas negara,” tegas Budi.
Salah satu kasus penipuan terjadi pada Maret 2025, melibatkan akun Instagram @myeshafashion_.
Korban, yang tergabung dalam komunitas media sosial “Komunitas MARAH MARAH” di X (sebelumnya Twitter), mengaku tertipu saat membeli gamis dan mengalami kerugian sebesar Rp500.000.
Korban dihubungi oleh seseorang yang mengaku sebagai petugas Bea Cukai bernama “Anita Iskandar”, yang meminta pembayaran tambahan sebesar Rp275.000 untuk pengurusan paket.
Pelaku menyertakan foto berseragam Bea Cukai untuk meyakinkan korban. Setelah dana ditransfer, komunikasi terputus, dan akun Instagram pelaku menghapus jejak.
Pihak Bea Cukai menegaskan bahwa akun tersebut bukan bagian dari layanan resmi dan transaksi hanya dilakukan via WhatsApp tanpa kanal e-commerce resmi yang bisa memberikan perlindungan konsumen.
“Transaksi di luar platform resmi sangat berisiko. Saat terjadi penipuan, pelacakan dan pengembalian dana menjadi sulit,” jelas Budi.
Bea Cukai mencatat, hingga Februari 2025, jumlah pengaduan kasus penipuan terus meningkat.
Terdapat 654 laporan, naik 9% dibandingkan 598 kasus pada Januari 2025. Dari jumlah tersebut, modus toko online fiktif menjadi yang paling dominan, dengan 342 kasus.
“Penipuan ini memanfaatkan minimnya pemahaman publik terhadap prosedur resmi Bea Cukai, ditambah dengan ketergiuran terhadap harga murah dan tekanan psikologis dari ancaman yang dibuat oleh pelaku,” tambah Budi.(*)
Editor: Don