Bentan.co.id – Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi (Kemenko Marves), Basilio Dias Araujo, menjelaskan mengenai profil kelautan Indonesia, termasuk potensi ekonomi birunya.
Basilio mengatakan ekonomi biru, yang berbasis pada kelautan dan perikanan, di Indonesia begitu potensial. Teritorial Indonesia terdiri dari lebih dari 17.500 pulau, 108.000 kilometer (km) garis pantai, dan laut sebagai tiga perempat wilayahnya.
“Teritorial Indonesia tersebut mendukung berbagai kegiatan ekonomi, seperti perikanan tangkap dan budidaya, pariwisata pesisir, pembangunan di sektor kelautan, dan transportasi,” kata Basilio dalam acara G20 Development Working Group Side Event: Blue Carbon Enabling Conservation and Financial Capital di Bali Nusa Dua Convention Center, Senin (8/8/2022).
Baswilio menambahkan, ada juga sektor perikanan, dimana sektor perikanan Indonesia menempati posisi terbesar kedua di dunia, dengan sektor perikanan yang menyumbang lebih dari USD 27 miliar terhadap PDB, menyediakan 7 juta pekerjaan dan memenuhi lebih dari 50 persen kebutuhan protein hewani bagi masyarakat.
Industri pariwisata yang bersentuhan dengan kelautan Indonesia berkontribusi terhadap PDB sebesar USD21 miliar pada 2019 (sektor kelautan dan non-kelautan). Pada 2016, 44 persen wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia melakukan kegiatan wisata bahari dan pantai.
Coral reef menyumbang USD3,1 miliar per tahun untuk sektor pariwisata dan USD2,9 miliar per tahun untuk sektor perikanan. Sedangkan mangrove di Indonesia, ekosistemnya terluas di dunia (total 3,31 juta hektar atau sekitar 20% dari ekosistem mangrove dunia).
Meski demikian, tetap terdapat kesenjangan dalam pembiayaan ekonomi biru. Menurut Basilio, keuangan biru mencakup berbagai instrumen keuangan yang ditujukan untuk mengembangkan dan memperkuat sektor yang terkait dengan kelautan, dengan mematuhi prinsip-prinsip keberlanjutan.
Strategi pembiayaan biru harus mendukung negara-negara dalam mencapai tujuan dalam aksi perubahan iklim dan tujuan dalam aksi kehidupan di bawah air sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Sustainable Development Goal’s/SDG’s).
“Indonesia membutuhkan tambahan investasi sekitar Rp1.928 triliun per tahun agar ekonomi biru mencapai kontribusi 12.45 persen terhadap PDB pada 2045, yang mengasumsikan tidak ada penipisan sumber daya laut,” pungkas Basilio.
Prakarsa Pembiayaan Laut
Pada kesempatan yang sama, Country Director Asian Development Bank (ADB) untuk Indonesia, Jiro Tominaga, mengatakan Indonesia sebagai negara dengan garis pantai terbesar kedua di dunia, penting memiliki rencana aksi kelautan yang hijau.
Pada 2019, ADB mengumumkan “Rencana Aksi untuk Lautan yang Sehat dan Ekonomi Biru Berkelanjutan untuk Kawasan Asia dan Pasifik” dan meluncurkan Prakarsa Pembiayaan Laut.
“Itu bertujuan untuk memperluas investasi hingga $5 miliar antara 2019 dan 2024 untuk mempromosikan ekonomi biru dan menciptakan peluang bagi sektor swasta untuk berinvestasi dalam proyek-proyek yang dapat diandalkan, yang mencakup berbagai bidang termasuk pariwisata dan perikanan berkelanjutan, konservasi ekosistem pesisir dan laut, pengurangan sumber pencemaran laut berbasis daratan, dan pembangunan infrastruktur pelabuhan dan pesisir,” ujar Tominaga
Dari 2019 hingga 2021, lanjut Tominaga, ADB memberikan komitmen kumulatif sebesar $1,4 miliar dan membuat kemajuan dalam mengimplementasikan rencana aksi tersebut. ADB juga mendukung para anggotanya untuk memobilisasi kredit karbon melalui Climate Action Catalyst Fund yang diluncurkan tahun lalu di COP 26.
Menurut Tominaga, pemerintah dan lembaga keuangan internasional dapat memberikan insentif ini melalui peraturan dan instrumen de-risiko keuangan.
“Pemerintah direkomendasikan untuk menetapkan kerangka kerja untuk proyek konservasi seperti Kawasan Konservasi Laut dengan tujuan karbon spesifik dan memimpin inisiatif yang berani untuk mengatasi ancaman seperti polusi pantai atau limpasan nutrisi,” kata Tominaga.
Perlu Sinergitas dalam Pembiayaan Karbon Biru
Indonesia saat ini melakukan upaya pengurangan emisi dan ketahanan iklim. Hal ini berkaitan dengan upaya untuk mengimplementasikan SDG’s. Salah satu tindakan prioritas untuk mencapai ketahanan iklim adalah program adaptasi-mitigasi dan strategi penanggulangan bencana yang komprehensif dalam menghadapi perubahan iklim.
Penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebagai salah satu bentuk strategi penanggulangan bencana dalam menghadapi perubahan iklim dicanangkan oleh Pemerintah Indonesia melalui Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi GRK (RAN-GRK) 2010 dan Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional (NDC). ) pada 2015 dengan menargetkan penurunan emisi GRK sebesar 29 persen secara nasional dan 41 persen dengan upaya internasional pada 2030.
Mangrove dan lamun merupakan kunci ekosistem pesisir yang menyimpan karbon alami (carbon sink) yang disebut Blue Carbon. Selain mangrove, padang lamun dan rawa asin memiliki fungsi yang sama dimana ketiga ekosistem ini dapat menyerap dan menyimpan karbon yang sangat besar dalam waktu yang sangat lama, bahkan lebih banyak dari hutan terestrial. Namun, peran vital ketiga ekosistem karbon biru ini belum banyak mendapat perhatian.
Oleh karena itu, upaya adaptasi dan mitigasi yang komprehensif berbasis karbon biru merupakan pertimbangan strategis untuk mencapai ketahanan iklim. Namun, ekosistem karbon biru belum masuk dalam NDC.
“Indonesia melalui Bappenas telah menginisiasi pengarusutamaan Karbon Biru dalam skema perencanaan pembangunan Indonesia, khususnya di bidang ekosistem pesisir dan laut, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 – 2024),” ujar Deputi Maritim dan Sumber Daya Alam Bappenas Gellwynn Daniel Hamzah Jusuf.
Pemerintah Indonesia, kata Gellwynn, berencana untuk memasukkan ekosistem karbon biru sebagai salah satu sektor prioritas dalam pengurangan emisi Gas Rumah Kaca di bawah sektor FOLU (Forest and Other Land Use), dalam review dokumen NDC Indonesia selanjutnya yang dipimpin oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Untuk memenuhi tujuan tersebut, Kementerian Perencanaan/Bappenas telah mengembangkan Kerangka Strategis Karbon Biru Nasional (IBCSF), yang bertujuan untuk menyatukan berbagai inisiatif dan program dan mengintegrasikannya ke dalam kebijakan Indonesia pada ekosistem pesisir.
“IBCSF mempertimbangkan masalah adaptasi dan mitigasi dengan memperkuat kerjasama antarlembaga pemerintah,” katanya lagi.
Berkenaan dengan kebutuhan untuk memasukkan karbon biru ke dalam NDC dan kebijakan nasional, upaya untuk melindungi dan melestarikan ekosistem karbon biru harus dilakukan untuk menyelaraskannya dengan komitmen.
“Tindakan itu akan meningkatkan kebutuhan pendanaan dari pemerintah untuk melaksanakan langkah-langkah mitigasi terkait karbon biru,” ujarnya.
Pembiayaan kegiatan karbon biru harus menjadi salah satu prioritas pemerintah melalui beberapa mekanisme yang dapat mendukung pencapaian target NDC. Saat ini tidak ada banyak pilihan untuk membiayai konservasi karbon biru, yakni dengan melibatkan sejumlah pihak termasuk swasta dan lembaga finansial.