Bentan.co.id, Batam — Memperingati Hari Mangrove Sedunia, Akar Bhumi Indonesia (ABI) bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Batam menggelar diskusi publik bertema “Hilangnya Benteng Terakhir Pesisir Batam” pada Jumat 25 Juli 2025, di kawasan Hutan Lindung Mangrove Tanjung Piayu.
Diskusi ini membangun kesadaran dan kolaborasi lintas sektor dalam menjaga kelestarian ekosistem mangrove, yang semakin terancam oleh aktivitas pembangunan dan reklamasi di wilayah pesisir Batam.
Ketua Akar Bhumi Indonesia, Sony Rianto, menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan diskusi pertama yang digelar langsung di kawasan mangrove Piayu.
Ia menekankan pentingnya peran semua pihak dalam menjaga keberadaan hutan mangrove yang masih tersisa di Batam.
“Ini langkah awal untuk memperkuat gerakan pelestarian,” ujarnya.
Senada dengan itu, Ketua AJI Batam, Yogi Eka Sahputra, menambahkan bahwa inisiatif diskusi ini muncul dari pengalaman peliputan jurnalis mengenai kerusakan mangrove akibat reklamasi dan produksi arang.
AJI Batam, katanya, berkomitmen meningkatkan kualitas pemberitaan isu lingkungan dan mendorong keterlibatan komunitas, termasuk mahasiswa dan organisasi nelayan.
Selain diskusi, AJI dan Akar Bhumi juga membuka program beasiswa liputan lingkungan bagi dua jurnalis.
Proposal yang masuk akan diseleksi untuk mendapatkan dana liputan sebesar Rp 2 juta. Pendaftaran diperpanjang satu minggu dari jadwal semula.
Dalam pemaparannya, Kepala Seksi Rehabilitasi Hutan dan Lahan, Bagus Dwi Rahmanto, mengungkapkan bahwa strategi rehabilitasi mangrove tengah disusun, meski terkendala anggaran, tekanan pembangunan, dan lemahnya pengawasan.
Ia menekankan bahwa mangrove menyimpan cadangan karbon empat hingga lima kali lebih besar dibanding hutan daratan, menjadikannya ekosistem penting di wilayah pesisir Kepulauan Riau.
Bagus juga menyinggung potensi pergeseran Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) jika abrasi terus terjadi akibat kerusakan mangrove.
Ia menegaskan bahwa keberadaan mangrove sangat krusial untuk mencegah intrusi air laut, terutama karena Kepri tidak memiliki aliran lumpur dari sungai besar sebagai penunjang alami.
Koordinator Polisi Kehutanan KPHL Unit II Batam, Karmawan, menyebut keterlibatan jurnalis dan aktivis lingkungan sangat penting dalam memperkuat pengawasan.
Ia menjelaskan bahwa luas mangrove Batam mencapai 17 ribu hektare, tetapi sebagian besar berada di wilayah APL (Areal Peruntukan Lain) yang pengawasannya lemah.
Ia juga menyoroti masih terjadinya praktik pembalakan liar dan penyelundupan kayu mangrove, bahkan hingga diameter kecil 5 cm.
Hendrik, pendiri Akar Bhumi Indonesia, menjelaskan bahwa Hari Mangrove Sedunia pertama kali dicetuskan oleh Ekuador dan diakui oleh UNESCO pada 2015.
Ia menekankan bahwa mangrove memiliki nilai lebih dari sekadar ekonomi atau sosial, melainkan juga nilai ekologi dan spiritual. Hendrik mengkritik lemahnya regulasi dan menyebut hanya sebagian kecil kawasan mangrove yang tercakup dalam RTRW.
ABI, katanya, telah melaporkan 30 kasus terkait pelanggaran kehutanan dan terus mendorong masyarakat untuk menjaga klaster mangrove secara mandiri.
Ia juga menyerukan agar regulasi terkait Hutan Produksi Terbatas (HPT) direvisi, serta menghentikan praktik produksi arang bakau secara ilegal.
Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kepri, Distrawandi, menyatakan bahwa mangrove adalah bagian penting dari kehidupan nelayan.
Ia mengkritik ketidakhadiran perwakilan BP Batam dalam diskusi tersebut, dan mempertanyakan arah kebijakan pembangunan yang kerap mengorbankan pesisir.
Ia menyoroti berbagai persoalan seperti abrasi, tata ruang yang tidak konsisten, dan lemahnya penegakan aturan.
Distrawandi juga menilai bahwa kebijakan sering kali tidak berpihak pada masyarakat pesisir.
“Investor melanggar, bayar denda, dan selesai. Tapi nelayan hanya bisa pasrah,” ujarnya.(*)
Editor: Don