Pemilu 2024: Kompetensi atau Popularitas

Pemilu 2024: Kompetensi atau Popularitas  
Mahasiswa STISIPOL Raja Haji Tanjungpinang, Krestiana. f. koleksi pribadi.
Pemilu 2024: Kompetensi atau Popularitas  
Mahasiswa STISIPOL Raja Haji Tanjungpinang, Krestiana. f. koleksi pribadi.

DALAM UU No.42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Pasal 9 berbunyi: “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”.

Dari Pasal tersebut ditegaskan partai politik atau gabungan partai politik sekurang-kurangnya harus memiliki 20% jumlah kursi atau setara dengan 115 kursi di DPR agar bisa mencalonkan seseorang menjadi presiden. Dari situ kita mengetahui bagaimana sistem politik yang ada di Indonesia cukup pelik, sebenarnya yang dicari itu kompetensi atau nama besar?

Dalam perkembangannya salah satu Partai di Indonesia yang mendeklarasikan nama Calon Presiden dan kemungkinan juga akan berkoalisi bersama partai lain, Misalnya pada saat ini terdapat 4 poros, Poros koalisi Pertama, yaitu poros Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang sudah mendeklarasikan sejak awal yaitu GOLKAR, PAN, dan PPP (25,87 persen Kursi DPR), selanjutnya poros kedua yang beranggotakan NASDEM, PKS, dan Demokrat (28,50 persen kursi DPR), kemudian poros ketiga yang beranggotakan Gerindra dan PKB (23,25 persen kursi DPR), terakhir poros keempat PDI Perjuangan satu-satunya partai yang besar kemungkinan tidak melakukan koalisi dengan partai lain dan langsung dapat mengusung capres ataupun cawapresnya menjadi satu-satunya partai politik yang dapat mengusung capres dan cawapres 22, 38 persen kursi DPR.

Namun, dari 4 poros tersebut tidak mustahil jika akan mengerucut mengingat perkembangan dan isu politik yang berkembanga menjelang Pilpres 2024, selain itu juga tergantung kesepatakatan dan kalkulasi dari partai politik masing-masing.

Sudah tidak dipungkiri lagi praktik koalisi jegal-menjegal memang sudah tidak asing di Indonesia, karena yang menjadi tujuan utamanya adalah kemenangan, tidak peduli kemenangan tersebut diperoleh dengan cara jujur dan adil ataukah kemenangan yang diperoleh melalui kecurangan dan kelicikan.

Padahal esensi dari pelaksanaan pemilu adalah pemenuhan sarana mewujudkan kedaulatan dan kesejahteraan rakyat agar dapat melahirkan transisi kekuasaan dengan cara yang bermartabat dan menjunjung nilai-nilai demokratis sebagaimana yang diatur dalam konstitusi.

Untuk diketahui bersama jika pemilu merupakan sebuah langkah awal bagaimana sebuah negara akan berkembang atau justru mengalami kemunduran. Maka sebenarnya tugas dari partai politik adalah menyampaikan edukasi kepada masyarakat mengenai politik bukan hanya berfikir untuk berkuasa pada sebuah negara dengan mengucapkan janji-janji palsu dan kata-kata emas untuk mendulang suara rakyat, kesejahteraan warga negara menjadi tujuan utama yang harus diwujudkan dalam sistem ketatanegaraan dan pengelolaan negara.

Selama ini seseorang yang akan menjadi calon presiden ataupun wakil rakyat merupakan usulan dari sebuah partai politik, sehingga ketika menjabat pun kebanyakan hanya memikirkan partai politiknya saja.

Sebenarnya fungsi dari Partai Politik tidak lain untuk menciptakan pemerintahan yang efektif dan meningkatkan adanya partisipasi politik terhadap pemerintahan yang berkuasa, namun kenyataanya Partai Politik menjadi wadah oknum tertentu yang mempunyai ambisi menguasai sebuah negara, mereka cenderung lupa akan tujuan sebuah negara yaitu mensejahterkan masyarakat.

Dalam rapat DPR misalnya adanya fraksi-fraksi partai politik dengan menyampaikan aspirasi-aspirasinya mengapa hal tersebut masih dilanjutkan sedangkan kebanyakan dari Warga Negara Indonesia tidak hanya dari kalangan partai, seharusnya wakil rakyat dapat menghilangkan jejak partai politik dalam urusan negara, seperti kita ketahui sebagai wakil rakyat mereka sudah disumpah untuk mengutamakan kepentingan negara diatas kepentingan pribadi ataupun golongan.

Namun mirisnya kebanyakan dari wakil rakyat jika sudah terpilih mereka lupa akan janji mereka yang mereka utamakan hanya partai politik mereka berasal, kemauan untuk menguasai menjadi tujuan utama mereka, kaderisasi partai politik yang semestinya menanamkan cinta nasionalisme namun justru menanamkan jiwa menguasai negara.

Partai Politik sendiri sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) UU RI Nomor 2 tahun 2011), adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga Negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan  dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dan jika melihat dari fungsinya Partai politik mempunyai fungsi yang sangat beragam antara lain sebagai Sarana Komunikasi Politik, Sarana Sosialisasi Politik, Sarana Rekrutmen Politik, Sarana Pengatur Konflik, Sarana Artikulasi Kepentingan, Sarana Agregasi Kepentingan.
Namun akhir-akhir ini dari fungsi yang beragam mayoritas partai politik hanya fokus pada keinginan untuk berkuasa dan mengesampingkan tujuan dari awal sebuah negara yaitu menciptakan kesejahteraan bagi warga negara.

Saat ini seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi yang semakin melesat tidak dipungkiri jika seseorang dapat menjadi terkenal “viral” bahkan dari hal negative, Seseorang yang sedang viral tersebut bisa menjadi calon anggota DPR walaupun orang tersebut tidak mempunyai wawasan akan politik apabila sudah terkenal dan mempunyai nama besar maka dia dapat berkemungkinan menjadi anggota DPR, bahkan Presidan ataupun Wapres.

Hingga saat ini kebanyakan partai politik mengusungkan calon wakil rakyat kebanyakan dari kalangan yang sudah memiliki nama besar misalnya artis, penyanyi dsb, hal ini menjadi keuntungan bagi partai politik yang mengusungnya sehingga berkemungkinan besar mencuri perhatian masyarakat dan akhirnya memilih calon dari partai tersebut.

Seseorang yang mempunyai kompetensi besar misalnya berprestasi sangat jarang ditemukan dalam partai politik. Lantas bagaimana sebuah negara akan maju jika dari awal rekuitmen partai politik saja enggan menampilkan calon-calon yang berkarakter nasionalisme, berprestasi dan mempunyai pengalaman yang baik dalam bidangnya.

Selanjutnya jika melihat dari mayoritas penduduk di Indonesia terkait mengenai pengetahaun akan politik dapat dikatakan rendah fungsi dari partai politik yang seharusnya memberikan edukasi kepada masyarkat seolah hilang ditelan waktu sehingga masyarakat belum memahami bagaimana pentingnya suara mereka pada waktu pemilu hal ini membuat masyarakat cenderung memilih calon wakil rakyat bukan dari aspek kompetensi yang dimiliki melainkan dari popularitas atau nama besarnya.

Inilah yang menjadi dilema dalam pemilu 2024, dalam pelaksanaannya pemilu memang sebuah kegiatan yang akan terus dilakukan secara periodik di Indonesia. Pada tahun 2024 merupakan tahun dimana pemilu serentak dilaksanakan dari pemilihan Calon Presiden, Wakil Rakyat Presiden, DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/.

Lantas apakah kita sebagai warga negara akan memilih kompetensi atau popularitas semata? Dan yang perlu dipertanyakan lagi apakah masih perlu partai politik dalam negara kita jika keinginan berkuasa masih membara sedangkan ilmu politik masih nihil adanya?.

Krestiana
Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIPOL) Raja Haji Tanjungpinang
Program Studi : Administrasi Publik
banner 728x90

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *