Bentan.co.id – Pulau Penyengat merupakan destinasi wajib saat mengunjungi Tanjungpinang, Kepulauan Riau.
Pulau kecil ini menyimpan jejak kejayaan Kesultanan Riau-Lingga dan menjadi saksi bisu berbagai peristiwa penting dalam sejarah Melayu.
Pulau ini dikenal sebagai lokasi strategis pertahanan Raja ketika menghadapi serangan Tengku Sulaiman dari Hulu Riau pada tahun 1719.
Di periode 1782–1784, dibangun sejumlah benteng untuk melawan ancaman kolonial Belanda.
Hingga kini, sisa-sisa benteng tersebut masih berdiri dan menjadi bagian penting dari kekayaan sejarah pulau ini.
Untuk menuju pulau ini, wisatawan hanya perlu menyeberang dari Kota Tanjungpinang menggunakan kapal mesin.
Perjalanan singkat selama 10–15 menit ini bertarif sekitar Rp9.000 per orang. Setibanya di dermaga, pengunjung bisa berjalan kaki sejauh 200 meter ke gerbang utama atau menjelajahi pulau menggunakan motor becak sewaan seharga Rp50.000 per jam.
Masjid Sultan Riau: Keunikan Arsitektur dari Putih Telur
Ikon utama pulau ini adalah Masjid Raya Sultan Riau yang berdiri sejak tahun 1832. Masjid ini memiliki ciri khas arsitektur berwarna kuning dan hijau dengan campuran putih telur sebagai bahan bangunannya.
Interior masjid tampak sederhana namun menyimpan benda bersejarah, seperti tiga lampu kristal di tengah ruangan dan Al-Qur’an tulisan tangan dari abad ke-18.
Tokoh Perempuan Pejuang: Engku Puteri Raja Hamidah
Di kompleks makam Engku Puteri Raja Hamidah, pengunjung bisa berziarah sekaligus mengenal sosok perempuan tangguh yang mempertahankan simbol kedaulatan Kerajaan Riau-Lingga, yaitu Regalia.
Simbol berupa daun sirih emas ini tidak diserahkan meskipun Belanda dan Inggris menodongkan senjata.
Kini, Regalia disimpan di Museum Nasional sebagai simbol kehormatan dan keberanian.
Makam dan Tokoh Kesusastraan Melayu
Kompleks makam Yang Dipertuan Muda Riau VII Raja Abdurrahman dan keluarganya juga menjadi titik sejarah penting.
Menariknya, bentuk nisan menunjukkan jenis kelamin: bulat untuk pria, pipih untuk wanita.
Tak jauh dari sana, terdapat makam Raja Ali Haji, tokoh besar dalam sastra Melayu yang menciptakan Gurindam Dua Belas, karya yang masih dijunjung tinggi hingga kini.
Istana dan Balai Adat: Simbol Kejayaan Masa Lalu
Pulau ini juga memiliki beberapa bangunan istana, seperti Istana Engku Bilik dan Istana Kantor (Marhum Kantor), kediaman Raja Ali yang memerintah pada 1844–1857.
Meski sebagian telah rusak termakan usia, kedua istana ini mencerminkan kejayaan arsitektur Melayu dan sempat dipugar pada 1997.
Sementara itu, Balai Adat menjadi tempat pelestarian adat istiadat. Di bagian bawah bangunan ini terdapat sumur tua sedalam 2,5 meter yang masih digunakan pengunjung untuk membasuh muka.
Selanjutnya ada Situs Gedung Mesiu yang dulunya digunakan sebagai gudang senjata dan sempat menjadi penjara, kini berdiri dengan dinding tebal berwarna kuning. Lokasi ini menjadi saksi kekuatan militer Kesultanan Riau-Lingga.
Peninggalan pertahanan paling menarik adalah Benteng Bukit Kursi. Ditandai sebagai Cagar Budaya lewat SK Wali Kota Tanjungpinang Nomor 229 Tahun 2017, benteng seluas 6.900 meter persegi ini dibangun oleh Raja Haji pada abad ke-18.
Dengan delapan meriam dan parit pertahanan sedalam tiga meter, benteng ini menunjukkan keseriusan kerajaan dalam menghadapi serangan Belanda.
Viny, wisatawan asal Kota Tanjungpinang, mengaku terkesan dengan kekayaan sejarah yang dimiliki pulau tersebut.
Namun, ia menyayangkan kondisi sejumlah bangunan bersejarah yang tidak terawat dengan baik.
“Saya senang bisa berkunjung ke Pulau Penyengat. Tapi sayang, banyak situs sejarah yang kondisinya memprihatinkan. Cat bangunannya terlihat kusam, dan beberapa tampak tidak mendapat perawatan rutin,” ujarnya saat ditemui, Minggu (11/5/2025).
Beberapa situs yang disebut dalam kondisi kurang layak antara lain Istana Tengku Bilik dan Istana Kantor, yang merupakan bagian penting dari sejarah Kesultanan Riau-Lingga.
Menurutnya, sebagai kawasan yang memiliki nilai sejarah tinggi, seharusnya bangunan-bangunan tersebut dirawat dengan lebih serius agar dapat menjadi daya tarik wisata sekaligus sarana edukasi yang representatif.
“Ini aset budaya dan sejarah di Pulau Penyengat. Sangat disayangkan kalau dibiarkan rusak pelan-pelan,” tambahnya.(*)
Editor: Don