
Bentan.co.id – Aktivitas penimbunan bakau yang diduga kuat masuk dalam Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) di Sei Gentong, Kelurahan Tanjunguban Selatan, Kecamatan Bintan Utara masih berlangsung. Seolah terjadi pembiaran oleh aparat terkait.
Hal ini pun menimbulkan tanda tanya mengapa aparat tidak bertindak atau bahkan tidak bernyali memeriksa lokasi penimbunan dan menindak jika benar melanggar aturan.
M Idha, salah seorang tokoh Lembaga Adat Melayu (LAM) Bintan Utara mengungkapkan keanehan dalam aktivitas penimbunan bakau tersebut. Hal ini karena sampai saat ini belum ada informasi seperti apa penanganan aparat terkait.
“Kami jadi bertanya-tanya sebagai masyarakat, mengapa seperti dibiarkan saja. Jika sesuai SK Menhut Nomor 76 Tahun 2015 ada pelanggaran, maka tindak. Namun jika tidak berikan penjelasan ke masyarakat agar tidak gaduh,” ungkapnya, Jumat (18/2).
Idha menambahkan, jika proses penimbunan tersebut telah diizinkan oleh pihak Pemerintah Kecamatan, maka siapa yang mengizinkan dan siapa yang memberikan pendapat kawasan itu bukan kawasan hijau.
“Pemerintah harus jelaskan sesuai data. Kalau bukan Kawasan HPT terangkan, jika benar HPT maka langkah apa yang sudah diambil,” jelasnya.
Soal kepemilikan lahan, lanjutnya, jika sertipikat lahan masuk dalam kawasan hutan, maka penimbunan harus dihentikan dan proses hukum berjalan. Hal ini karena di hamparan yang sama, tepatnya di Jalan Haji Parenrengi, ada juga sertipikat hak milik warga yang masuk dalam kawasan bakau, sampai saat ini lahan tersebut tidak dibenarkan ditimbun atau rusak.
“Ya kalau punya sertipikat tapi masuk kawasan hijau, maka silahkan ajukan pemutihan lahan dulu, baru ditimbun sesuai dengan mekanisme,” ucapnya.
Ia menambahkan juga, dirinya mempertanyakan izin timbun dan biaya retribusi yang dibayarkan ke Pemkab Bintan. Bila benar itu kawasan HPT, maka Pemkab Bintan sama dengan menerima uang hasil dari melanggar hukum.
“Apalagi kan infonya bayar retribusinya 85 lori, tapi faktanya di lapangan ratusan lori menimbun lahan seluas 352 m2 milik pengusaha Tanjunguban berinisial Su alias A. Ini ada potensi penggelapan retribusi andai izinnya benar,” terangnya.
Ia juga menilai, aparat dari kehutanan atau lingkungan hidup seperti tak punya nyali memeriksa aktivitas tersebut. Hal ini karena belum ada penjelasan dari pihak terkait tersebut hingga saat ini.
“Kita ada DLHK dan KPHP IV yang biasanya turun ke lapangan terkait urusan hutan dan lingkungan. Kami jadi heran mengapa tak ada pemeriksaan. Apakah aparat tersebut takut atau gimana?, nanti kan bisa saja masyarakat menduga ada apa-apanya,” tegasnya.