bentan.co.id – Penyebaran Covid-19 masih sulit dikendalikan. Secara global, arus pandemi yang kembali menguat sejak akhir Juni lalu, menjadi serangan gelombang ketiga. Hanya saja, pada dua pekan terakhir terhitung dari 17 Agustus 2021, angka kasusnya mulai melandai, dengan penambahan empat dan dua persen saja. Ironisnya, gelombang baru itu muncul di tengah vaksinasi yang semakin masif.
Per 16 Agustus 2021, tercatat 2,46 miliar (31,6 persen) penduduk planet bumi ini sudah menerima suntikan vaksindosis pertamanya. Yang telah menerima dua dosis suntikan lengkap ada 23,7 persen. Namun, masifnya vaksinasi itu seperti tak bisa menghalangi Covid-19, dengan segala varian barunya, untuk terus menyebar.
Gelombang ketiga serangan Covid-19 global saat ini mengakibatkan ada 4,2 juta kasus positif dalam sepekan, yang berarti rata-rata 600 ribu kasus baru per hari. Masih jauh di bawah puncak pandemi (gelombang dua) pertengahan April 2021 yang rata-rata menjangkiti lebih dari 800 ribu orang sehari.
Dipastikan, pada gelombang ketiga ini, empat varian baru yang paling dominan, yakni varian Alpha B-117 asal Inggris, varian Beta B-1351 asal Afrika Selatan (Afsel), varian Gamma P-1 Brazil, dan varian Delta B-1617 asal India. Varian Alfa sudah menjangkiti 183 negara, Beta hadir di 136 negara, Gamma ada di 142 negara, dan Delta muncul di 142 negara.
Di Indonesia tercatat tiga varian sudah masuk, yakni Alpha, Beta, dan Delta. Varian Delta yang paling dominan di lapangan. Kondisi Malaysia, yang cukup parah terserang pandemi itu, serupa Indonesia. Namun, di negeri tetangga yang lain Filipina dan Thailand sudah mencatat lengkap kehadiran empat varian baru yang berbahaya itu. Empat varian itu dikenal sebagai variants of concern (VoC).
Perbandingan Antarvarian
Dalam ulasan mingguan yang dirilis 10 Agustus 2021, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) membuat gambaran tentang kiprah varian baru itu. Dalam ulasannya, para ahli WHO memakai bahan kajian dari lembaga-lembaga penelitian yang kredibel di banyak negara, yang masuk jejaring institusinya.
Sebuah studi kasus di Qatar, menurut laporan WHO, membandingkan serangan varian Alpha dan Beta. Hasilnya menunjukkan bahwa mereka yang terserang varian Beta punya kemungkinan 1,24 kali lebih besar untuk mengalami gejala cukup berat dan harus dirawat di rumah sakit, dibanding kelompok yang terserang varian Alpha B-117 asal Inggris.
Kelompok pasien yang terserang Varian B-1351 Beta itu juga punya risiko 1,49 kali masuk ke ruang ICU. Lebih lanjut, secara rata-rata risiko kematian varian Beta ini 1,57 kali lipat dibanding kelompok Alpha. Temuan di Qatar ini jelas menunjukkan varian Beta lebih ganas dari Alpha.
Bagian lain laporan WHO itu menunjuk pada hasil monitoring di Inggris, 12–27 Juni 2021 atas 980 pasien usia di atas 15 tahun yang terkonfirmasi positif Covid-19 melalui PCR positif Covid-19, ternyata ada 82 orang yang mengalami infeksi ulang (reinfeksi). Statistik itu juga menunjukkan, risiko infeksi oleh varian Delta itu 1,46 lebih besar ketimbang reinfeksi varian Alpha. Mengutip laporan 167 kasus transmisi lokal pertama atas varian Delta di Tiongkok, ulasan WHO pun menyebutkan bahwa viral load pada pasien itu besarnya 1.000 kali dibanding pasien Covid-19 di awal pandemi di Wuhan. Viral load itu ditunjukkan oleh hasil pengukuran PCR pada CT value yang sama. Ke-167 orang itu diperiksa ketika menjalani karantina.
Secara umum, baik varian Alpha, Beta, Gamma, maupun Delta, semuanya disebut punya daya tular (transmisibilitas) yang lebih kuat dibanding varian sebelumnya. Keempat VoC ini juga terbukti bisa meningkatkan risiko keparahan yang lebih tinggi, yang membuat lebih banyak korbannya digotong ke rumah sakit untuk menjalani perawatan, dan meningkatkan risiko kematian.
Dalam hal risiko reinfeksi, yang kuat ialah varian Delta dan Beta. Keduanya bisa menerjang sistem antibodi yang terbentuk dari infeksi pertama. Varian Gamma dan Alpha ada di level bawahnya. Toh, ada sisi berita baiknya bahwa tak ada laporan yang menyatakan keempat varian ini bisa lepas dari diagnosis PCR. Setidaknya, belum ada laporan kredibel yang menyebutkan empat varian penting itu secara definitif bisa lepas dari pantauan mesin RT-PCR.
Vaksin versus VoC
Secara ringkas, proteksi vaksin terhadap ke-4 VoC itu, dengan segala keterbatasan data pengujian, bisa diuraikan varian adalah sebagai berikut. Kinerja vaksin ini mengacu pada hasil vaksinasi pascasuntikan kedua (dosis lengkap) dan dilakukan di lapangan, bukan hasil uji klinis tahap 3 yang sudah banyak dipublikasikan.
Varian Alpha B-117
Secara umum semua vaksin dilaporkan mengalami efek penurunan daya netralisasinya (meredam) aksi virus di dalam tubuh. Penurunannya antara 10–20 persen. Namun, pengaruhnya atas efikasi tak ada laporan yang menyeluruh. Laporan hanya ada pada beberapa merk. AstraZeneca, misalnya, melaporkan bahwa efikasi terhadap penularan turun 10 persen dan efikasi pada keparahan susut antara 10–20 persen. Tak ada laporan terkait efikasi pada fatalitas (kematian). Moderna dan Pfizer-Biontech juga melaporkan penurunan efikasi pada keparahan (severity) 10 persen.
Varian Beta B-1351
Terhadap serangan Varian Beta daya tangkal vaksin itu menurun lebih jauh. Vaksin Anhui, Beijing-CNBG dan Bharat (India) melaporkan penurunan netralisasi 10–20 persen. AstraZeneca dan Sputnik V mengalami penurunan 20–30 persen. Bahkan, Moderna, Pfizer-Biontech dan Covavax melaporkan daya tangkal antibodi penggunanya turun lebih dari 30 persen.
Namun, laporan efikasi penularan dan tingkat keparahan tidak banyak tersedia. Pfizer melaporkan efikasinya kepada penularan turun 10–20 persen, dan efikasi keparahan susut 10 persen. Pada saat yang sama, AstraZeneca dan Novavax mencatat efikasinya terhadap keparahan anjlok lebih dari 30 persen. Tak tersedia laporan tentang mortalitas.
Varian Gamma
Secara umum tak banyak kajian yang spesifik tentang daya tangkal vaksin terhadap varian Gamma ini. Gambaran yang ada adalah penurunan daya penetralisasi dari mereka yang divaksin genap dua dosis kepada Varian P-1 asal Brazil itu susut antara 10–20 persen. Sinovac (Tiongkok) melaporkan bahwa efikasi untuk penularan pada varian Gamma ini turun 10–20 persen.
Varian Delta
Hampir semua jebol efikasinya oleh varian Delta. Vaksin Sinovac (banyak digunakan di Indonesia) melaporkan penurunan daya netralisasinya sampai di atas 30 persen, sementara Anhui turun 10–20 persen, dan AstraZeneca anjlok di atas 30 persen. Moderna dan Janssen-Ad26 merosot 10 persen dan Pfizer susut 10–20 persen. Laporan yang lebih spesifik pun belum tersedia.
Lagi-lagi AstraZeneca dan Pfizer-Biontech menunjukkan kepeloporan dalam keterbukaan kinerjanya, dan menyebutkan adanya penurunan efikasi penularan dan keparahan. Dalam hal efikasi penularan, keduanya mengalami penurunan 10 persen. Namun, dalam hal efikasi keparahan, AstraZeneca susut 20 hingga 30 persen, sedangkan efikasi Pfizer merosot 10–20 persen. Tak ada laporan tentang angka kematian (fatalitas).
Situasi Indonesia
Sejauh ini belum ada evaluasi efikasi vaksin berbasis merk, yang sudah digunakan di Indonesia. Tapi secara umum, Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa sekitar 90–94 persen dari kelompok orang yang meninggal karena serangan Covid-19 berstatus belum divaksin. Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono mengatakan, dalam video yang beredar di akhir Juli 2021 menunjukkan bahwa mereka yang sudah menjalani vaksinasi umumnya mengalami gejala yang lebih ringan.
Penjelasan Gubernur Bali I Wayan Koster, akhir Juli lalu, mendukung keterangan Dr Dante Saksono. Di Bali, selama gelombang kedua pandemi Juli 2021, dari seluruh kasus aktif Covid-19 itu, 40 persen sudah divaksin (sebagian besar sekali dosis suntikan), dan 60 persen lainnya belum divaksin sama sekali. Dari kasus positif itu, mereka yang sudah tervaksin umumnya mengalami gejala lebih ringan.
Dari sisi fatality rate, kematian terjadi lebih banyak dari kalangan yang belum tervaksin. ‘’Sekitar 91 persen kematian terjadi pada pasien yang belum divaksinasi. Ada tujuh persen yang sudah divaksin, dan 2 persen tidak diketahui status vaksinasinya,’’ ujar I Wayan Koster. Dari 7 persen, yang meninggal itu, sebagian juga baru menerima satu dosis suntikan.