Bentan.co.id – Perkembangan musik di tanah air tak lepas dari satu nama, Lokananta. Itu merupakan sebuah studio rekaman yang terletak di Jl Ahmad Yani nomor 379, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta, Jawa Tengah.
Berdiri di atas lahan seluas 21.150 meter persegi, Lokananta didirikan pada 29 Oktober 1956 oleh Raden Maladi, Kepala Jawatan Radio Republik Indonesia (RRI), bersama Oetojo Soemowidjojo dan Raden Ngabehi Soegoto Soerjodipoero.
Lokananta yang dalam bahasa Sansekerta berarti gamelan dari khayangan yang bersuara merdu, semula dibangun untuk merekam materi siaran dalam bentuk piringan hitam untuk disiarkan oleh 26 stasiun RRI di seluruh Indonesia.
Menurut Gading Pramu Wijaya, pada 1958, dalam Lokananta Arsip Sejarah Musik Indonesia, pihak RRI mulai menjual produksi piringan hitam yang berupa lagu-lagu daerah kepada masyarakat umum dengan merek dagang Lokananta.
Koleksinya seperti, musik gamelan dari Jawa, Bali, Sunda, musik Batak, juga lagu-lagu rakyat (folklore) yang tidak pernah diketahui siapa penciptanya.
Kemudian, berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 215 tahun 1961, Studio Lokananta diubah statusnya menjadi perusahaan negara dengan nama baru PN Lokananta.
Bidang usahanya pun diperluas menjadi label rekaman yang berfokus pada karya lagu daerah dan pertunjukan seni serta penerbitan buku dan majalah.
Rekaman untuk para musisi di tanah air mulai dilakukan ketika Indonesia menjadi penyelenggara Asian Games ke-IV, pada 15 Agustus 1962.
Saat itu sejumlah lagu daerah seperti Rasa Sayange dinyanyikan musisi lokal dan direkam dalam piringan hitam lalu dibagikan sebagai cendera mata kepada kontingen peserta Asian Games 1962.
Selepas itu, Lokananta mulai memberanikan diri memproduksi piringan hitam dari musisi terkenal, seperti Waldjinah, Titiek Puspa, Bing Slamet, Sam Saimun, dan maestro jazz Buby Chen.
Waldjinah tercatat sebagai musisi pertama yang merekam suaranya di Lokananta, pada 1959, saat membawakan lagu Kembang Katjang karya Gesang Martohartono alias Gesang, sang legendaris, pencipta Bengawan Solo.
Lokananta juga ikut merekam Bengawan Solo dan beberapa ciptaan Gesang, lainnya seperti Jembatan Merah dan Sapu Tangan.
Sewaktu rekaman itu, Waldjinah yang baru berusia 12 tahun dengan postur mungilnya tak mampu menjangkau letak corong mikrofon.
Alhasil, penyanyi yang kemudian dikenal sebagai Ratu Keroncong dengan 1.700 karya lagu keroncong itu terpaksa dinaikkan ke bangku kayu kecil atau dingklik.
Upaya itu dilakukan agar posisi mulut bocah bersuara emas itu pas dengan corong mikrofon. Rekaman perdana di Lokananta itu sebagai hadiah yang ia terima setelah memenangkan kontes menyanyi “Ratu Kembang Katjang”.
Lokananta ikut mengalami pasang surut kemajuan musik di tanah air. Pada 1972, produksi audio mulai beralih dari piringan hitam ke kaset dan sejak 1983 membentuk unit penggandaan film dalam format pita magnetik Betamax dan VHS. Pada dekade 1970-an hingga 1980-an, Lokananta berjaya sebagai sentra produksi rekaman audio kaset dan penggandaan film terbesar di Indonesia.
Tahun 1999, menjadi momentum senjakala bagi Lokananta. Tepatnya ketika makin banyak rekaman audio dilakukan format CD dan kaset mulai ditinggalkan.
Sejak 2004, perusahaan rekaman ini diambil alih Perum Percetakan Negara RI. Nama barunya menjadi PNRI Cabang Surakarta-Lokananta.