WAKTU hanya menyisakan satu bulan lagi. Perhelatan politik pemilihan kepala daerah di Kepulauan Riau sudah di pelupuk mata. Tanggal 9 Desember 2020 sebuah pesta besar demokrasi akan digelar, dilaksanakan dan dirayakan oleh masyarakat Kepulauan Riau di hari dan di tanggal itu.
Masing-masing paslon, semenjak ditetapkannya masa kampanye, sudah turun ke daerah-daerah dengan tim suksesnya. Pada agenda ini masing-masing paslon unjuk gigi untuk membuktikan bahwa merekalah yang paling layak dipilih dan didukung pada penentuan suara di tanggal 9 Desember tersebut.
Disinilah pentingnya bahwa kampanye Pilkada Kepri bukan sekadar mengajak masyarakat untuk memilih salah satu pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah. Kampanye semestinya dilandaskan bagaimana memberi ruang bagi terbangunnya demokrasi murni dan terdidik yang memberikan edukasi politik bagi masyarakat sehingga masyarakat cerdas menentukan pilihan dan tidak seperti membeli kucing dalam karung.
Mengajak masyarakat untuk menentukan pilihan dengan cerdas adalah cara terbaik. Selain memberi pemahaman mengenai pilkada yang beretika juga mengajak masyarakat memilah dan memilih pemimpin berkualitas untuk Kepulauan Riau empat tahun mendatang. Karena salah memilih pemimpin, hanya merana dan penyesalan yang akan didapatkan.
Sejauh ini dinamika politik yang nampak memang menunjukkan kenaikan eskalasi yang signifikan. Beberapa tim sukses dan pendukung Paslon mulai bermanuver politik secara vulgar tanpa mengindahkan demokrasi yang berakhlak. Sebagian para tim sukses dan relawan-relawan masing-masing Paslon masih terus menyebar fitnah, berita hoax dan kampanye negatif lainnya yang sebenarnya justru mereduksi popularitas Paslon serta nilai-nilai demokrasi dalam ajang kontestasi di tahun ini.
Kita bisa lihat sendiri di media sosisal yang berkembang dewasa ini, apakah itu melalui grup facebook, twitter, Instagram ataupun grup whatsaap bersileweran isu demi isu di lempar kemudian di tangkap, dilempar ditangkap begitu seterusnya, sampai kemudian ada yang menggoreng dan menyantapnya.
Masyarakat dibuat bingung menentukan pilihan yang akhirnya memunculkan sikap apolitis dalam rumah demokrasi. Hal ini harusnya jadi perhatian serius mengingat serangan isu-isu-isu politik yang dianggap menyampah dan tidak didasari dengan data akurat serta mengenyampingkan fakta, hanya akan menimbulkan kubangan hitam dalam lautan demokrasi.
Menjatuhkan dan memfitnah lawan politik di mata masyarakat bukanlah solusi tepat untuk meraih simpati publik saat ini. Cara paling elegan adalah dengan bertarung program di panggung debat yang bisa dilihat publik sehingga publik bisa tahu yang sebenarnya mana Paslon yang serius bertarung dan mana yang asal bertarung.
Kita ketahui di tahun politik saat ini berbagai isu yang berkembang seperti kilat menyambar. Berbagai persoalan yang terjadi pun bisa dengan mudah dicocoklogikakan oleh beberapa oknum dengan kemampuan analisis yang kering. Semisal dengan berita a dikaitkan dengan b kemudian c dikaitkan dengan d dan disimpulkan dengan e, yang anehnya lagi rata-rata menafikan data ketika berargumen. Mereka para oknum ini kebanyakan asal bicara dan bicara asal.
Perlu diingat, saat ini masyarakat sudah sangat cerdas. Mereka mampu menilai mana opini sesungguhnya dan mana opini yang dibangun dengan fitnah dan kebencian.
Saya selalu terngiang, perkataan Ansar Ahmad, Paslon Gubernur Kepri nomor urut tiga, bahwa pelaksanaan demokrasi sebaiknya juga didasari oleh akhlak yang mulia sehingga tidak bisa seenaknya mengganggu dan merugikan orang lain. Sangat tidak beradab kalau ruang demokrasi Pilkada diisi dengan menjelek-jelekkan pihak lain, apalagi memfitnah. Membangun rumah demokrasi dengan cara-cara yang baik pasti akan melahirkan pemimpin yang baik pula.
Sebagai masyarakat yang cerdas tidak ada salahnya kita harus pandai memfilter dan tidak mudah dipancing oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Silahkan saja menentukan pilihan namun jangan dengan cara menjatuhkan dan menjelek-jelekkan pilihan orang lain, dengan menuding tanpa fakta dan informasi yang tidak jelas. Setidak-tidaknya bukan dengan cara-cara yang dianggap diluar koridor kewarasan berpolitik yang mengensampingkan moralitas yang bisa berujung pada degradasi politik dan memunculkan polarisasi dalam masyarakat.
Terkadang kita menyaksikan sendiri bagaimana perilaku konyol para oknum perusak moralitas politik justru dilakukan oleh mereka yang paham tentang politik. Bahkan mereka ini adalah oknum-oknum yang bisa saja bergelar Profesor, Doktor, atau Magister dari berbagai disiplin ilmu yang seharusnya memberikan edukasi bagaimana berpolitik yang sehat dan cerdas.
Ternyata dalam dunia politik memang tidak ada jaminan bahwa tingkat pendidikan seseorang menjadi acuan baik tidaknya moralitas yang dimilikinya. Kesadaran membangun moralitas dalam berpolitik nampaknya harus terus dikampanyekan dalam rangka membangun akhlak ruang demokrasi di negeri ini.
Tentu kita berharap seluruh lapisan masyarakat di Kepulauan Riau perlu ditekankan pentingnya mematuhi aturan-aturan hukum yang berlaku dalam mengisi ajang kontestasi politik tahun’ ini. Esensi demokrasi memang kebebasan, tetapi kebebasan yang dipagari oleh etika dan perangkat hukum yang harus dipatuhi oleh semua orang.
Semoga Pilkada tahun ini melahirkan pemimpin yang baik serta berpihak pada masyarakat dengan akhlak dan etika politik yang baik. Kalau Anda masih ingin mencari pemimpin yang baik tetapi melalui jalan yang tidak baik, dengan fitnah dan menelikung jalan, berarti ada yang salah denga isi hati dan kepala anda. Nampaknya perlu didiagnosis, siapa tahu di kepala anda bersemayam kanker kebencian yang sudah akut.
(*)